Tahukah kamu, gejala egoisme, fatalisme dan skeptisme mulai menjamur. Setiap kali melihat sesuatu yang mereka sendiri tahu itu tidak benar, mereka enggan dan malas untuk berbuat sesuatu. Mantra sakti yang digunakan selalu berkutat pada
“Memangnya kamu sudah bener kok ngbener-ngbenerin orang lain”
memang pendapat itu tidak salah, yang namanya ngbener-ngbenerin itu memang dilarang. Kalo salah ya salah, kalo bener ya bener. Jangan sampai ada yang disalah-salahin atau dibener-benerin.
Seperti kata pepatah, “karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Seringkali hanya karena sebuah kesalahan kecil, orang sudah terlanjur menyamakan posisi orang lain sama hinanya dengan (maaf) pemerkosa.
Orang selalu menghina orang lain yang mencoba menyuarakan hal yang diyakininya benar hanya karena orang lain itu tidak luput dari kesalahan. Jadi orang yang pernah mencium pacarnya waktu pacaran dianggap tidak berhak bicara tentang bahaya seks bebas, orang yang pernah nggak sengaja naik sepeda motor melawan arus dianggap tidak berhak bicara tentang keselamatan berkendara.
Saya sangat mengerti dengan orang-orang seperti ini, saya sempat menganut paham ini selama beberapa tahun. Saya juga tahu betul bahwa ada sebagian dari orang orang ini yang mengatakan hal-hal seperti itu (benahi diri sendiri dll) hanya untuk pembenaran saja karena mereka sebetulnya ingin bicara/bertindak tapi takut. Tapi kemudian sebuah kenyataan pahit dari seorang teman (kenalan sih, soalnya dia jadi bapak saya juga pantes) yang bekerja di dunia “hitam” perlahan-lahan merubah jalan berpikir saya.
Intinya dia cuma bilang begini :
“Nggak papa aku jadi bajingan, yang penting anakku jangan sampai meniru aku…”
“Nggak papa aku jadi bajingan, yang penting anakku jangan sampai meniru aku…”
kamu yang membaca mungkin langsung akan menyematkan berbagai label kemunafikan terhadap orang ini. Tapi yakinlah, dia mengatakannya sambil berkaca-kaca dan dalam kondisi yang tidak mungkin berbohong (tidak perlu saya ungkap kondisi apa…). Dia tahu betul bahwa apa yang dia lakukan itu salah, dan dia tidak ingin ada keluarganya yang mengikuti jejaknya. Dan saya pikir yang lebih hina adalah orang yang menganggap orang ini munafik.
Bahkan orang yang paling hina sekalipun kadang-kadang bahkan sering bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Mungkin mereka memang lemah karena terpaksa mengambil jalan yang salah, tapi kita juga tidak tahu apa yang melatar-belakangi khan?
Agama (saya) islam mengajarkan untuk amar ma’ruf dan nahi munkar. Untuk saling mengajak berbuat kebaikan dan mencegah keburukan. Disana sama sekali tidak ada syarat dan ketentuan bahwa hanya orang baik yang boleh bicara tentang kebaikan kan?
Seseorang tidak pernah kehilangan haknya untuk menyuarakan kebenaran hanya karena dia sendiri pernah berbuat kesalahan. Seseorang tidak kehilangan haknya untuk menentang kemunafikan karena dia pernah mencontek. Dia hanya (mungkin) akan kehilangan haknya untuk berkata “saya bukan penyontek”. Tapi dia tetap berhak mengingatkan orang lain untuk tidak menyontek.
Walaupun klasik, tapi semua orang pasti pernah berbuat kesalahan. Bahkan Rasulullah SAW yang pernah kehilangan kesabaran terhadap salah satu umatnya tidak dicabut haknya untuk berwasiat tentang pentingnya sabar. Maksud saya adalah bahwa tidak ada orang yang tidak pernah salah. Semua orang pernah salah, dan itulah sebabnya ada kewajiban untuk saling mengingatkan. Cara mengingatkan itu kan macam-macam.
Seperti kata teman saya yang sering saya kutip :
“nek gak kenek dicangkemi yo ditangani, nek gak kenek ditangani yo disikili…”
“nek gak kenek dicangkemi yo ditangani, nek gak kenek ditangani yo disikili…”
Saya tahu, memang orang-orang yang egois dan tidak pernah memikirkan orang lain itu mungkin jauh lebih terhormat. Mereka jauh lebih terhormat karena tidak munafik seperti saya yang sering bersepeda motor nggak pake helm tapi melarang adik-adik saya naik motor tanpa helm. Saya memang sering nyontek, toh saya juga sering mengkritik mereka yang mendapat nilai dengan cara tidak halal (menyuap, apalagi dengan tubuh).
Untuk apa kita hidup terhormat (baca egois, apatis, cynical, skeptis dll) dan mengaku beragama kalau kita hanya menghina orang lain dan membiarkan kesalahan terus terjadi. Masih untung maling yang melarang anaknya itu sadar kalau maling itu perbuatan “haram”, daripada orang yang terhormat dan tidak mau mengingatkan orang lain supaya jangan jadi maling padahal mungkin tanpa sadar dia juga pernah maling.
Saya tetap akan tetap menyuarakan kata hati saya untuk menghentikan produksi rokok, jangan buang sampah sembarangan dan lain-lain. Orang mau bilang saya munafik juga nggak peduli. Yang penting saya tidak akan pernah berkoar kalau saya tidak pernah merokok, dan tidak pernah buang sampah sembarangan dll. Yang penting saya tidak cuma diam dan terus menumpuk kesalahan saya dan memendam diam jadi beban dosa
Kalau harus menunggu orang yang benar-benar untuk menyuarakan kebenaran, sampai kiamat juga nggak bakalan ada. Rasulullah SAW yang akhlaknya katanya paling sempurna saja pernah salah kok. Toh dia tidak dipecat jadi Rasul. Evita Peron yang mantan pelacur juga tetap mendapat tempat dihati rakyat Argentina. Bahkan Khalifah Umar bin khattab R.a yang sudah membantai banyak orang tetap diijinkan bertaubat.
Memang butuh jiwa besar untuk bisa menerima kritik, apalagi kalau kritik itu dilontarkan oleh orang yang kita anggap lebih “hina” dari kita. Janganlah hanya karena “nila setitik rusak susu sebelanga”. Hanya karena orang itu pernah salah lantas kita anggap semua omongannya salah. Tidak ada orang yang 100% (benar atau salah). Lama-lama kita bisa jadi cynical, skeptis, dan akhirnya fatalis.
Dan jangan pula sampai terjadi kebalikannya, hanya karena orang itu punya citra yang baik lantas serta merta kita anggap benar…atau saya yakin dia yg benar karena dia adalah teman saya dan kamu yg salah (lah ujung-ujungnya bahas ginian lagi deh…). Bukan berarti kalau yang bicara MUI lantas makanan yang diproduksi dengan mempekerjakan orang seperti mempekerjakan hewan itu jadi halal. Bukan berarti kalau yang bicara Onno W Purbo lantas kita percaya saja kalau misalnya dia mengatakan tombol help itu ctrl+alt+del
Dari contoh yg saya ambil diatas...saya bisa ambil pelajaran, bahwa Kesedihan, kesenangan, rasa sedih, senang, bahagia dan semacamnya itu memang egois. Di saat orang lain senang, belum tentu kita bisa merasakan kesenangan bersama atau untuk orang itu. Apalagi jika kita sebenarnya sedang bersedih. Di saat orang lain sedih, belum tentu kita juga benar-benar bersedih bersama dan untuk orang itu. Apalagi jika sebenarnya kita sedang bahagia. Begitu sebaliknya jika itu terjadi pada kita. Paling hanya „sekedar“ ucapan bernada simpati: saya ikut sedih atau saya ikut senang. Tapi toh rasanya tidak akan pernah bisa sama dengan rasa yang sedang dialami orang yang bersangkutan.
Jangan-jangan ungkapan semacam itu pun nantinya hanya akan jadi sekedar basa-basi tak bermakna, setelah itu menghilang. Menguap hanya jadi sekedar kata.
Tapi mengapa, jika hanya sekedar kata, saat kita merasa senang, kita tetap saja tidak bisa mengungkapkannya hanya karena „melihat“ orang lain sedang bersedih? „Tidak enak, tidak etis, orang lain bersedih, kita gembira. Bagaimana jika kita yang mengalaminya?“ Selalu begitu –katanya- Jika hanya sekedar kata, mengapa pula saat kita sedih, kita pun tak bisa mengungkapkannya, hanya karena orang-orang di sekitar kita sedang gembira? “Jangan dikatakan, tidak enak, nanti bisa merusak suasana”. Juga selalu begitu –katanya-.
Ternyata benar bukan, rasa senang dan sedih itu memang egois. Hanya bisa dinikmati sendiri. Karena kalau terjadi di saat dan tempat yang -egoisnya- „tidak tepat“ salah-salah bisa membuat „tidak enak“.
Apa harus peduli?
Bahkan rasa peduli pun ternyata egois. Semuanya jadi bergantung pada kepentingan diri sendiri.
Egois khan?
Apakah bukan egois juga namanya, jika kita merasa senang karena sahabat kita “tersandung” sesuatu yang justru akan membuatnya semakin kuat dan sabar? Merasa senang karena kita tahu bahwa di depan kesulitan itu akan ada kebahagiaan yang sudah menantinya, karena dia menjalani kesulitannya dengan sabar? Apakah bukan egois juga, jika kita justru merasa sedih melihat sahabat kita “senang” karena sesuatu yang akan membuatnya terlena dan terpuruk? Karena “kesenangan” yang berlebihan itu ternyata membuatnya lupa pada kesulitan yang siap menghadangnya?
Sekali lagi, ternyata kesenangan dan kesedihan itu memang egois. Dan sepertinya saya adalah seorang yang egois, karena saya senang melihat sahabat saya „tersandung“ dan dia bersabar bangkit untuk kemudian berjalan lagi. Betapa saya senang sekali diijinkan mendukung dan membantunya bangkit. Saya sedih melihat sahabat saya „senang“ karena dengan „senangnya“ dia melupakan banyak hal. Termasuk: hidup masih harus terus dijalani, sementara waktu tidak menunggu. Betapa saya sedih sekali, ketika dia tidak mengijinkan saya memutus "kesenangannya" itu, lalu melihat kenyataan bahwa dia memilih dengan „senang“nya berjalan dalam „kesenangan“ semunya.
"Yagh, saya akui, saya memang orang yang egois."
Jadi terserah sekarang kamu mau memilih jalan hidup yang bagaimana, egois dan terhormat (maka diamlah selamanya), atau munafik dan nista (dan terus bicara). Tapi buat kamu yang memilih hidup nista, tidak ada salahnya kan kalau kita mencoba mengurangi kemunafikan kita? semoga bermanfaat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar